Kita tidak boleh menjadikan qadha dan qadar Allah sebagai alasan untuk berbuat maksiat dan meninggalkan perintah-Nya.
Allah menciptakan manusia dan perbuatannya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala
Seluruh perbuatan manusia baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan merupakan makhluk (ciptaan) Allah. Namun hal tersebut tidak bisa menjadi alasan bagi seseorang untuk membenarkannya berbuat maksiat. Mengapa tidak bisa menjadi alasan?وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ“Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash Shaaffat: 96)
Berikut ini beberapa dalil yang menjelaskannya:
Pertama, Allah menyandarkan perbuatan seorang hamba kepada mereka dan menyatakannya sebagai perbuatan mereka.
Seandainya seorang hamba tidak punya pilihan dan kemampuan dalam perbuatannya tentu Allah tidak akan menyandarkan perbuatan tersebut kepadanya. Seandainya seorang hamba diberi balasan dengan perbuatan yang tidak dilakukannya, apakah itu bukan suatu kezhaliman?الْيَوْمَ تُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ“Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. (QS. Al-Mu’min:17)
Kedua, Allah menyampaikan perintah dan larangan kepada hamba-Nya dan Allah tidak membebani kecuali dengan apa yang mampu ia lalukan. Begitu pula Allah tidak melarang sesuatu, kecuali hamba tersebut mampu meninggalkannya.
Seorang hamba tidak dipaksa dalam beramal (hanya menjalani takdirnya). Seandainya seorang hamba itu berbuat karena paksaan takdir, tentu dia tidak akan mampu menahannya karena orang yang dipaksa tidak bisa lepas dari keterpaksaan. Hal ini bertentangan dengan firman Allah diatas yang mana Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sesuai kesanggupannya.لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Ketiga, Semua orang mengetahui perbedaan antara perbuatan yang berdasarkan pilihan dan perbuatan yang merupakan paksaan. Perbuatan yang merupakan pilihan, seorang hamba bebas memilih apakan dia mau mengerjakan atau tidak. Adapun perbuatan yang merupakan keterpaksaan, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus melakukan perbuatan tersebut.
Keempat, Seseorang yang berbuat maksiat, dia tidak tahu apa yang ditakdirkan kepadanya sebelum melakukan kemaksiatan. Dia mempunyai kemampuan untuk memilih apakah dia melakukan maksiat atau meninggalkannya. Dia tau balasan apa yang akan dia peroleh jika dia berbuat maksiat. Lalu kenapa dia memilih untuk berbuat maksiat kemudian beralasan dengan takdir yang sebenarnya dia sendiri tidak tahu? Bukankah lebih pantas dia memilih jalan yang benar kemudian dia katakan inilah takdirku.
Kelima, Allah ta’ala menyatakan bahwa pengutusan rasul adalah untuk menutup alasan.
Kalaulah takdir bisa dijadikan alasan untuk bermaksiat, niscaya pengutusan rasul tidaklah berguna.لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ“Supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisaa’: 165).
***
Muslimah.Or.Id
Penulis: Anita Ummu Khadijah
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji:
Syarh Lum’atul I’tiqad, Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin, hal: 55-56, Darul ‘Aqidah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar