Nasehat Untuk Diri Sendiri
Tujuan hidup adalah sebuah ketetapan yang mendasari semua rencana dan kerja kita, dan yang menjadi penjaga arah perjalanan.
Membunyikan Sholawat Sebelum Adzan
Ada sebuah kebiasaan di Indonesia yang sudah lama mengakar di masyarakat, yaitu kebiasaan membunyikan kaset sholawat atau tarhim di masjid-masjid sebelum tukang adzan mengumandangkan adzannya.
Di sebagian tempat lagi, ada yang langsung ber-sholawat dengan lisannya melalui loud speaker dengan suara keras. Suara mereka didengarkan oleh orang-orang yang berada di kampung dan tempat sekitar. Alasannya sih untuk mengingatkan dekatnya waktu sholat.
Tapi apakah hal ini dibenarkan dalam syariat dan memiliki dasar sehingga kita menyatakannya boleh atau sunnah?
Pertanyaan semisal ini telah dijawab oleh para ulama dalam Lembaga Pemberi Fatwa (Al-Lajnah Ad-Da’imah) di Timur Tengah, yang kala itu memberikan jawaban,
“Bersholawat dan bersalam kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sebelum adzan dan juga mengeraskannya usai adzan bersama (bersambung) dengan adzan termasuk bid’ah yang diada-ada dalam agama. Sungguh telah tsabit (nyata) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد
“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia (hal yang diada-ada itu) adalah tertolak”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 2697) dan Muslim (no. 1718) (17)]
Di dalam sebuah riwayat,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tak ada padanya urusan (agama) kami, maka ia (amalan) itu tertolak”. [HR. Muslim (no. 1718) (18)]
Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam”.
[Sumber Fatwa: Fataawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa' (2/501/no. 9696)].
KERUSAKAN-KERUSAKAN YANG DITIMBULKAN OLEH BID'AH
Banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh bid’ah, diantaranya adalah :
1. Bid’ah memberikan kesulitan kepada hamba, karena telah membebani
manusia dengan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan
Rosul-Nya.
2. Bid’ah menyebabkan manusia keluar dari ketaatan kepada Rasul. Karena Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ.
“Katakanlah, Jika kamu mencintai Allah ikutilah aku (Muhammad)
niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS Ali
Imran : 31).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,” Ayat yang mulia
ini adalah sebagai hakim bagi orang mengaku mencintai Allah, sementara
ia tidak di atas tata cara (ibadah) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, dimana ia dusta dalam klaimnya tersebut sampai mengikuti
syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada seluruh
perkataan, perbuatan dan keadaan beliau, sebagaimana telah ada dalam
kitab Ash Shahih Nabi bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak
diperintahkan oleh kami maka amal tersebut tertolak.” (HR Muslim).[1]
3. Bid’ah meniadakan kesempurnaan syahadat Muhammad Rasulullah.
Karena tujuan di utusnya Rosul adalah dalam rangka menjelaskan
kepada manusia tentang ibadah yang diridlai oleh Allah, karena ibadah
adalah hak Allah dan tentunya Allah ingin diibadahi sesuai dengan apa
yang Dia cintai dan ridlai, bukan sesuai selera manusia. Dan yang Allah
cintai dan ridlai adalah yang Allah wahyukan kepaa Rosul-nya.
4. Bid’ah adalah tikaman terhadap kesempurnaan islam.
Karena orang yang berbuat bid’ah konskwensinya adalah menyatakan
dengan perbuatannya atau lisannya bahwa syari’at islam belum sempurna
sehingga butuh penambahan, kalaulah ia meyakini islam telah sempurna di
seluruh lininya tentu ia tidak akan berbuat bid’ah.[2]
5. Bid’ah adalah tikaman terhadap sifat amanah Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam.
Ibnul Majisyun berkata,” Aku mendengar imam Malik berkata,”Barang
siapa yang berbuat bid’ah di dalam islam yang ia anggap baik, ia telah
menganggap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati
risalah, karena Allah berfirman,”Pada hari ini telah Aku sempurnakan
agamamu.” Maka yang pada hari itu tidak termasuk agama, pada hari inipun
tidak termasuk agama.”[3]
6. Bid’ah melenyapkan sunah, karena
berapa banyak sunnah yang hilang dan digantikan oleh bid’ah, seperti
adzan awal subuh, salawat, dll.
Berkata Hassan bin ‘Athiyyah,”
Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama mereka kecuali Allah akan
mencabut sunnah yang semisal.” (HR Ad Darimi).[4]
7. Bid’ah
penyebab utama terjadinya perpecahan umat. Karena pada zaman Rosulullah
dan sahabatnya belum terjadi bid’ah tapi ketika muncul orang-orang yang
mengikuti selain petunjuk mereka mulailah terjadi perpecahan.
8. Amalan pelaku bid’ah tertolak. (HR Muslim).
Allah menghalangi ahli bid’ah untuk bertaubat selama dia tidak
meninggalkan bid’ahnya. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam :
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ.
“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari pelaku bid’ah sampai ia
meninggalkan bid’ahnya.” (HR Thabrany dan disahihkan oleh syeikh Al
Bani[5]).
9. Pelaku bid’ah akan menanggung dosa orang yang mengikutinya. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا
وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ
أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Barangsiapa
mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan
memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya
setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa
mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan
memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya
tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR Muslim).[6]
10. Orang yang melindungi ahli bid’ah dilaknat oleh Allah. sebagaimana sabda Nabi :
لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا
“Semoga Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-ada (kebid’ahan)”.(HR Muslim).
11. Pelaku bid’ah akan semakin jauh dari Allah.
Al Hasan Al Bashry rahimahullah berkata :”pelaku bid’ah tidaklah ia
menambah ibadah (yang bid’ah) kecuali semakin jauh dari Allah “. (Ibnu
Baththah, Al Ibanah)
12. Pelaku bid’ah memposisikan dirinya pada
kedudukan yang menyerupai pembuat syari’at, karena yang berhak membuat
syari’at hanyalah Allah saja. Firman-Nya :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ مِّن الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ.
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang menetapkan
aturan agama bagi mereka yang tidak diidzinkan oleh Allah.”
13. Bid’ah lebih buruk dari maksiat.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah berkata,”Sesungguhnya ahli bid’ah
lebih buruk dari ahli maksiat yang mengikuti syahwatnya berdasarkan
sunnah dan ijma’ ulama… kemudian beliau menyebutkannya.[7]
14. Bid’ah lebih disukai iblis dari maksiat.
Ibnul Ja’ad meriwayatkan dalam musnadnya (no 1885) dari Sufyan Ats
Tsauri berkata,”Bid’ah lebih disukai oleh iblis dari pada maksiat.”
Karena jika engkau bertanya kepada pencuri misalnya,”Apakah engkau
meyakini mencuri itu maksiat ? ia akan menjawab “ya”. Sedangkan ahli
bid’ah menganggap baik perbuatannya sehingga sulit diharapkan taubatnya.
Dan lain-lain.
[1] Ibnu Katsir, Tafsir ibnu katsir 2/24 tahqiq Hani Al haaj.
[2] Ilmu ushul bida’ hal 20.
[3] Al I’tisham 1/49.
[4] Sunan Ad Darimi 1/58 no 98 tahqiq Fawwaz Ahmad dan sanadnya shahih.
[5] Dalam shahih targhib wa tarhib no 54.
[6] Muslim 2/705 no 1017.
[7] Majmu’ fatawa ibnu Taimiyah 10/9.
[Menafsirkan Al Qur'an Tanpa Ilmu]
Pertanyaan:
Bolehkah seseorang menafsirkan Al Qur’an tanpa ilmu dan tanpa merujuk pada keterangan para ulama? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.
Syaikh Muhammad Al Imam hafizhahullah menjawab:
Seseorang tidak boleh berbicara tentang hal yang tidak ia ketahui. Dan tidak boleh juga berbicara tentang ilmu agama padahal ia tidak memiliki ilmu. Ini merupakan kejahatan yang besar, dan berbahaya bagi orang yang melakukannya. Ini juga merupakan kejahatan terhadap kalam Allah, dan bahaya yang besar bagi orang yang melakukannya.
Maka, hendaknya orang yang suka bermudah-mudah ini bertaqwa kepada Allah, dan jauhi berbicara mengenai kalamullah padahal ia tidak memiliki ilmu yang mencukupi yang membuat ia bisa menafsirkan dengan benar. Karena perbuatan ini merupakan penyimpangan dan kejahatan terhadap Allah dan terhadap agama Allah dan juga terhadap Rasul-Nya. Dan ini juga merupakan keburukan yang besar, sebagaimana sudah saya katakan.
Maka takutlah kepada Allah dengan tidak melakukan hal seperti ini, yang menyebabkan sebagian orang yang mengikutinya melakukan kebid’ahan, berdalil dengan ayat ini dan ayat itu, ayat ini menyuruh perbuatan ini dan itu, padahal bukan demikian maksud ayat tersebut dan dia bukan orang yang ahli dalam menafsirkan ayat Qur’an.
Ada riwayat shahih dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, beliau melewati seorang lelaki yang sedang mengajarkan orang-orang Al Qur’an. Beliau berkata:
أتعرف الناسخ والمنسوخ ؟ قال : لا ، قال : هلكت وأهلكت
“Apakah engkau sudah paham nasikh dan mansukh? Lelaki tadi berkata: ‘Saya belum paham’. Ali berkata: ‘Sungguh engkau ini binasa dan membuat orang lain binasa’“
Sumber: http://kangaswad.wordpress.com/2012/12/01/menafsirkan-quran-tanpa-ilmu
***
Artikel ini spesial untuk seorang da'i dadakan (Mentallist jadi ustadz)
Satu dalil saja tidak bisa ditunjukkan kalau Abu Baker, Umar, Utsman dan Ali merayakan Kelahiran Nabi.
Imam Malik pernah berkata,
ولا يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها
"Umat saat ini tidak bisa menjadi baik melainkan dengan mengikuti baiknya generasi Islam yang pertama."
Lantas atas petunjuk siapa jika ada yang merayakan? Padahal sebaik-baik generasi adalah generasi sahabat.
Mau Lakukan Ibadah Harus Butuh Dalil
Ulama Syafi’i memiliki kaedah,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”
Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).
Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ
“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.
via ustadz Abduh Tuasikal
Langganan:
Postingan (Atom)