Dzikir Pagi & Petang Saat Beraktifitas

Assalamu'alakum warahmatullahi wabarakaatuhu...

Ustadz, apakah melakukan dzikir pagi & petang boleh sambil melakukan aktifitas lain, mengingat padatnya aktifitas (dalam hal ini dzikir tidak dilakukan dengan duduk berdiam).

Syukron ustadz atas penjelasannya. Jazaakallahu khoiron..Baraakallahu fiika..

Jawab :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Dzikir pagi dan sore yang ada tuntunannya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam terdiri dari dzikir dan do'a, dan kedua hal itu memerlukan fokusnya pikiran dan hati supaya tujuan dan hasil dari keduanya bisa terwujud dan tercapai secara optimal.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah menerangkan
Begitu pula doa, itu termasuk sebab yang kuat untuk menolak sesuatu yang tidak diharapkan dan untuk mendapatkan apa yang dicari, akan tetapi kadang hasil do'a tidak terasa, ini bisa karena lemahnya doa dalam dirinya, disebabkan doa tersebut tidak disukai oleh Allah ta'ala (karena mengandung permusuhan), bisa juga karena lemahnya hati dan tidak mendatangi Allah ta'ala serta tidak mendekat kepada-Nya saat berdo'a, ketika itu doa tersebut seperti busur yang sangat kendor sehingga anak panahnya terlempar dalam keadaan lemah.

Bisa jadi (efek do'a tidak terasa.pent) disebabkan adanya penghalang dikabulkannya do'a, seperti memakan sesuatu yang haram, adanya kedholiman, dosa yang bertumpuk, kekalahan hati dari dosa, hati yang dikuasai oleh kelalaian dan lupa sebagaimana dalam kitab Shahih al-Hakim dari hadits Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ، وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاه

Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian meyakini bahwa Allah akan mengabulkan, ketahuialah bahwa Allah tidak menerima do'a dari hati yang lalai. HR. Tirmidzi no.3479 dan Ahmad no.6655. Hadits ini dihasankan oleh al-Albani. Al-Jawab al-Kafi liman Sa'ala 'an ad-Dawa' asy-Syafi 9

Terkait dzikir, setelah syaikh Utsaimin menafsirkan ayat 28 dari surat al-Kahfi (yang berbunyi):

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.
Beliau menerangkan: Dan pada ayat ini terdapat isyarat pentingnya kehadiran hati (fokus) saat berdzikir kepada Allah ta'ala. Seseorang yang berdzikir dengan lisannya saja tanpa disertai hati akan dicabut keberkahan dari amalan-amalan dan waktunya hingga ia melampaui batas. Engkau mendapatinya diam berjam-jam tidak memperoleh apapun, akan tetapi seandainya ia bersama Allah niscaya ia akan memperoleh keberkahan pada semua amalan-amalannya. Tafsir al-Utsaimin:Al-Kahfi 62

Oleh karena itu tidaklah semua aktitas dihukumi sama bila dikaitkan dengan pelaksanaan dzikir secara umum (dan dzikir pagi-sore secara khusus). Apabila aktifitas itu tidak memerlukan fokus yang tinggi seperti menunggu di barisan antrian dan biasanya kita bisa menghayati dzikir dan do'a yang kita lakukan kala aktifitas itu maka tidak masalah kita berdzikir sambil melakukan aktifitas semacam itu.

Apabila aktifitas yang kita lakukan memerlukan perhatian dan fokus yang tinggi dari pikiran dan hati kita (seperti menyetir mobil) maka memaksakan diri untuk berdzikir atau berdo'a kala itu mengharuskan kita siap untuk menerima hasil yang tidak optimal sebagaimana yang diterangkan oleh dua Ulama' di atas.

Meski demikian tidaklah layak menjadikan kesibukan yang banyak sebagai alasan tidak mau berdzikir secara total (karena kesibukan menghalangi penghayatan dzikir dan do'a). Luangkanlah waktu walau beberapa menit untuk fokus saat melakukan dzikir pagi-sore dan dzikir-dzikir lainnya. Apabila memang benar-benar tidak punya waktu untuk itu (menurut penanya) maka berdzikirlah saat melakukan aktifitas yang masih bisa disisipi dengan dzikir.

Kami pribadi meyakini bahwa seandainya seseorang berusah membagi waktunya, insya Allah ia akan memiliki waktu beraktifitas dan memiliki waktu untuk berdzikir kepada Allah ta'ala secara khusus, sebagai bukti, seandainya kita menengok dan menelaah kembali kisah hidup Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam kita akan percaya bahwa kesibukan yang banyak tidaklah menghalangi kita untuk berdzikir, coba kita bayangkan bagaimana sibuknya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, Beliau mengatur urusan keagamaan, kemasyarakatan, kenegaraan dan lain-lain, meski demikian Beliau masih bisa beribadah (termasuk berdzikir) kepada Allah ta'ala dan fokus kala beribadah. Oleh karena itu cobalah penanya kembali mengatur waktunya dan berusaha memberi porsi waktu khusus untuk berdzikir dan melaksanakan ibadah lainnya. Semoga Allah ta'ala mudahkan kita untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya dan meningkatkan ibadah seiring berjalannya waktu.

***
Sumber: salamdakwah.com

Membunyikan Sholawat Sebelum Adzan



Ada sebuah kebiasaan di Indonesia yang sudah lama mengakar di masyarakat, yaitu kebiasaan membunyikan kaset sholawat atau tarhim di masjid-masjid sebelum tukang adzan mengumandangkan adzannya.
Di sebagian tempat lagi, ada yang langsung ber-sholawat dengan lisannya melalui loud speaker dengan suara keras. Suara mereka didengarkan oleh orang-orang yang berada di kampung dan tempat sekitar. Alasannya sih untuk mengingatkan dekatnya waktu sholat.

Tapi apakah hal ini dibenarkan dalam syariat dan memiliki dasar sehingga kita menyatakannya boleh atau sunnah?
Pertanyaan semisal ini telah dijawab oleh para ulama dalam Lembaga Pemberi Fatwa (Al-Lajnah Ad-Da’imah) di Timur Tengah, yang kala itu memberikan jawaban,
“Bersholawat dan bersalam kepada Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- sebelum adzan dan juga mengeraskannya usai adzan bersama (bersambung) dengan adzan termasuk bid’ah yang diada-ada dalam agama. Sungguh telah tsabit (nyata) dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد

“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka ia (hal yang diada-ada itu) adalah tertolak”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 2697) dan Muslim (no. 1718) (17)]

Di dalam sebuah riwayat,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدّ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tak ada padanya urusan (agama) kami, maka ia (amalan) itu tertolak”. [HR. Muslim (no. 1718) (18)]

Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam”.
[Sumber Fatwa: Fataawa Al-Lajnah Ad-Da'imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa' (2/501/no. 9696)].

KERUSAKAN-KERUSAKAN YANG DITIMBULKAN OLEH BID'AH



Banyak kerusakan yang ditimbulkan oleh bid’ah, diantaranya adalah :

1. Bid’ah memberikan kesulitan kepada hamba, karena telah membebani manusia dengan sesuatu yang tidak pernah diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya.

2. Bid’ah menyebabkan manusia keluar dari ketaatan kepada Rasul. Karena Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ.
“Katakanlah, Jika kamu mencintai Allah ikutilah aku (Muhammad) niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS Ali Imran : 31).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,” Ayat yang mulia ini adalah sebagai hakim bagi orang mengaku mencintai Allah, sementara ia tidak di atas tata cara (ibadah) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana ia dusta dalam klaimnya tersebut sampai mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada seluruh perkataan, perbuatan dan keadaan beliau, sebagaimana telah ada dalam kitab Ash Shahih Nabi bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barang siapa yang beramal dengan suatu amal yang tidak diperintahkan oleh kami maka amal tersebut tertolak.” (HR Muslim).[1]

3. Bid’ah meniadakan kesempurnaan syahadat Muhammad Rasulullah.
Karena tujuan di utusnya Rosul adalah dalam rangka menjelaskan kepada manusia tentang ibadah yang diridlai oleh Allah, karena ibadah adalah hak Allah dan tentunya Allah ingin diibadahi sesuai dengan apa yang Dia cintai dan ridlai, bukan sesuai selera manusia. Dan yang Allah cintai dan ridlai adalah yang Allah wahyukan kepaa Rosul-nya.

4. Bid’ah adalah tikaman terhadap kesempurnaan islam.
Karena orang yang berbuat bid’ah konskwensinya adalah menyatakan dengan perbuatannya atau lisannya bahwa syari’at islam belum sempurna sehingga butuh penambahan, kalaulah ia meyakini islam telah sempurna di seluruh lininya tentu ia tidak akan berbuat bid’ah.[2]

5. Bid’ah adalah tikaman terhadap sifat amanah Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam.
Ibnul Majisyun berkata,” Aku mendengar imam Malik berkata,”Barang siapa yang berbuat bid’ah di dalam islam yang ia anggap baik, ia telah menganggap Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengkhianati risalah, karena Allah berfirman,”Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu.” Maka yang pada hari itu tidak termasuk agama, pada hari inipun tidak termasuk agama.”[3]

6. Bid’ah melenyapkan sunah, karena berapa banyak sunnah yang hilang dan digantikan oleh bid’ah, seperti adzan awal subuh, salawat, dll.
Berkata Hassan bin ‘Athiyyah,” Tidaklah suatu kaum berbuat bid’ah dalam agama mereka kecuali Allah akan mencabut sunnah yang semisal.” (HR Ad Darimi).[4]

7. Bid’ah penyebab utama terjadinya perpecahan umat. Karena pada zaman Rosulullah dan sahabatnya belum terjadi bid’ah tapi ketika muncul orang-orang yang mengikuti selain petunjuk mereka mulailah terjadi perpecahan.

8. Amalan pelaku bid’ah tertolak. (HR Muslim).
Allah menghalangi ahli bid’ah untuk bertaubat selama dia tidak meninggalkan bid’ahnya. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
إِنَّ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ.
“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat dari pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya.” (HR Thabrany dan disahihkan oleh syeikh Al Bani[5]).

9. Pelaku bid’ah akan menanggung dosa orang yang mengikutinya. Sebagaimana sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُنْقَصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
“Barangsiapa mencontohkan suatu perbuatan baik di dalam islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya setelahnya dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa mencontohkan suatu perbuatan buruk di dalam islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR Muslim).[6]

10. Orang yang melindungi ahli bid’ah dilaknat oleh Allah. sebagaimana sabda Nabi :
لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا
“Semoga Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-ada (kebid’ahan)”.(HR Muslim).

11. Pelaku bid’ah akan semakin jauh dari Allah.
Al Hasan Al Bashry rahimahullah berkata :”pelaku bid’ah tidaklah ia menambah ibadah (yang bid’ah) kecuali semakin jauh dari Allah “. (Ibnu Baththah, Al Ibanah)

12. Pelaku bid’ah memposisikan dirinya pada kedudukan yang menyerupai pembuat syari’at, karena yang berhak membuat syari’at hanyalah Allah saja. Firman-Nya :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ مِّن الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ.
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diidzinkan oleh Allah.”

13. Bid’ah lebih buruk dari maksiat.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah berkata,”Sesungguhnya ahli bid’ah lebih buruk dari ahli maksiat yang mengikuti syahwatnya berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama… kemudian beliau menyebutkannya.[7]
14. Bid’ah lebih disukai iblis dari maksiat.
Ibnul Ja’ad meriwayatkan dalam musnadnya (no 1885) dari Sufyan Ats Tsauri berkata,”Bid’ah lebih disukai oleh iblis dari pada maksiat.” Karena jika engkau bertanya kepada pencuri misalnya,”Apakah engkau meyakini mencuri itu maksiat ? ia akan menjawab “ya”. Sedangkan ahli bid’ah menganggap baik perbuatannya sehingga sulit diharapkan taubatnya.
Dan lain-lain.

[1] Ibnu Katsir, Tafsir ibnu katsir 2/24 tahqiq Hani Al haaj.

[2] Ilmu ushul bida’ hal 20.

[3] Al I’tisham 1/49.

[4] Sunan Ad Darimi 1/58 no 98 tahqiq Fawwaz Ahmad dan sanadnya shahih.

[5] Dalam shahih targhib wa tarhib no 54.

[6] Muslim 2/705 no 1017.

[7] Majmu’ fatawa ibnu Taimiyah 10/9.

[Menafsirkan Al Qur'an Tanpa Ilmu]



Pertanyaan:

Bolehkah seseorang menafsirkan Al Qur’an tanpa ilmu dan tanpa merujuk pada keterangan para ulama? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Syaikh Muhammad Al Imam hafizhahullah menjawab:

Seseorang tidak boleh berbicara tentang hal yang tidak ia ketahui. Dan tidak boleh juga berbicara tentang ilmu agama padahal ia tidak memiliki ilmu. Ini merupakan kejahatan yang besar, dan berbahaya bagi orang yang melakukannya. Ini juga merupakan kejahatan terhadap kalam Allah, dan bahaya yang besar bagi orang yang melakukannya.

Maka, hendaknya orang yang suka bermudah-mudah ini bertaqwa kepada Allah, dan jauhi berbicara mengenai kalamullah padahal ia tidak memiliki ilmu yang mencukupi yang membuat ia bisa menafsirkan dengan benar. Karena perbuatan ini merupakan penyimpangan dan kejahatan terhadap Allah dan terhadap agama Allah dan juga terhadap Rasul-Nya. Dan ini juga merupakan keburukan yang besar, sebagaimana sudah saya katakan.

Maka takutlah kepada Allah dengan tidak melakukan hal seperti ini, yang menyebabkan sebagian orang yang mengikutinya melakukan kebid’ahan, berdalil dengan ayat ini dan ayat itu, ayat ini menyuruh perbuatan ini dan itu, padahal bukan demikian maksud ayat tersebut dan dia bukan orang yang ahli dalam menafsirkan ayat Qur’an.

Ada riwayat shahih dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, beliau melewati seorang lelaki yang sedang mengajarkan orang-orang Al Qur’an. Beliau berkata:

أتعرف الناسخ والمنسوخ ؟ قال : لا ، قال : هلكت وأهلكت

“Apakah engkau sudah paham nasikh dan mansukh? Lelaki tadi berkata: ‘Saya belum paham’. Ali berkata: ‘Sungguh engkau ini binasa dan membuat orang lain binasa’“

Sumber: http://kangaswad.wordpress.com/2012/12/01/menafsirkan-quran-tanpa-ilmu

***
Artikel ini spesial untuk seorang da'i dadakan (Mentallist jadi ustadz)

Satu dalil saja tidak bisa ditunjukkan kalau Abu Baker, Umar, Utsman dan Ali merayakan Kelahiran Nabi.



Imam Malik pernah berkata,

ولا يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها

"Umat saat ini tidak bisa menjadi baik melainkan dengan mengikuti baiknya generasi Islam yang pertama."

Lantas atas petunjuk siapa jika ada yang merayakan? Padahal sebaik-baik generasi adalah generasi sahabat.

Mau Lakukan Ibadah Harus Butuh Dalil

Ulama Syafi’i memiliki kaedah,

اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف

“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”

Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,

أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف

“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,

لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ

“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”. Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.

via ustadz Abduh Tuasikal