Shalawat-Shalawat Bid’ah
Sudah bukan rahasia lagi kalau di tengah-tengah kaum muslimin, banyak
tersebar berbagai jenis shalawat yang sama sekali tidak berdasarkan
dalil dari sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Shalawat-shalawat itu biasanya dibuat oleh pemimpin tarekat sufi
tertentu yang dianggap baik oleh sebagian umat Islam kemudian disebarkan
hingga diamalkan secara turun temurun. Padahal jika shalawat-shalawat
semacam itu diperhatikan secara cermat, akan nampak berbagai
penyimpangan berupa kesyirikan, bid’ah, ghuluw terhadap Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, dan sebagainya.
A. Shalawat Nariyah
Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum
muslimin. Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian dinding
masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya
akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut
nash shalawatnya:
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ
سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ
الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ
وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى
الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ
مَعْلُوْمٍ لَكَ
“Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna
dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya
terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. Dan
dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan
kematian yang baik, dan memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang
sedih dengan wajahnya yang mulia, dan kepada keluarganya, para
shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang engkau miliki.”
Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini:
1- Sesungguhnya aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’anul Karim dan
yang diajarkan kepada kita dari Rasulullah shallallahu laiahi wasallam,
mengharuskan setiap muslim untuk berkeyakinan bahwa Allah-lah
satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesusahan), membebaskan dari
kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka
minta. Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdo’a kepada selain
Allah untuk menghilangkan kesedihannya atau menyembuhkan penyakitnya,
walaupun yang diminta itu seorang malaikat yang dekat ataukah nabi yang
diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an yang
menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdo’a, dan semacamnya dari
berbagai jenis ibadah kepada selain Allah Azza wajalla. Firman Allah:
قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُوْنِهِ فَلاَ يَمْلِكُوْنَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحِْويْلاً
“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain
Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan
bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.” (Al-Isra: 56)
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
segolongan kaum yang berdo’a kepada Al Masih ‘Isa, atau malaikat,
ataukah sosok-sosok yang shalih dari kalangan jin. (Lihat Tafsir Ibnu
Katsir 3/47-48)
2- Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan ikatan
(kesulitan), menghilangkan kesusahan, dsb, sedangkan Al Qur’an menyuruh
beliau untuk berkata:
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ
ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ
لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا
إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah:
‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula)
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah
pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Seorang laki-laki datang kepada Nabi
shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan, “Berdasarkan kehendak
Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ للهِ نِدًّا؟ قُلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ
“Apakah engkau hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah:
Berdasarkan kehendak Allah semata.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang
hasan)
(Lihat Minhaj Al-Firqatin Najiyah 227-228, Muhammad Jamil Zainu)
B. Shalawat Al-Fatih (Pembuka)
Lafadznya adalah sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أَغْلَقَ
وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ, نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ الْهَادِي إِلَى
صِرَاطِكَ الْمَسْتَقِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارُهُ
عَظِيْمٌ
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Baginda kami
Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang
terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke
arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan
padanya dan kedudukan yang agung.”
Berkata At-Tijani tentang shalawat ini -dan dia pendusta dengan perkataannya-:
“….Kemudian (Nabi shallallahu alaihi wasallam) memerintah aku untuk
kembali kepada shalawat Al-Fatih ini. Maka ketika beliau memerintahkan
aku dengan hal tersebut, akupun bertanya kepadanya tentang keutamaannya.
Maka beliau mengabariku pertama kalinya bahwa satu kali membacanya
menyamai membaca Al Qur’an enam kali. Kemudian beliau mengabarkan
kepadaku untuk kedua kalinya bahwa satu kali membacanya menyamai setiap
tasbih yang terdapat di alam ini dari setiap dzikir, dari setiap do’a
yang kecil maupun besar, dan dari Al Qur’an 6.000 kali, karena ini
termasuk dzikir.”
Dan ini merupakan kekafiran yang nyata karena
mengganggap perkataan manusia lebih afdhal daripada firman Allah Azza
Wajalla. Sungguh merupakan suatu kebodohan apabila seorang yang berakal
apalagi dia seorang muslim berkeyakinan seperti perkataan ahli bid’ah
yang sangat bodoh ini. (Minhaj Al-Firqah An-Najiyah 225 dan Mahabbatur
Rasul 285, Abdur Rauf Muhammad Utsman)
Telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan
mengajarkannya.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi dari Ali bin Abi Thalib. Dan
datang dari hadits’Utsman bin ‘Affan riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah)
Dan juga Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ : { ألم } حَرْفٌ،
وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu
kebaikan. Dan satu kebaikan menjadi sepuluh kali semisal (kebaikan)
itu. Aku tidak mengatakan: alif lam mim itu satu huruf, namun alif satu
huruf, lam satu huruf, dan mim itu satu huruf.” (HR.Tirmidzi dan yang
lainnya dari Abdullah bin Mas’ud dan dishahihkan oleh Al-Albani
rahimahullah)
C. Shalawat yang disebutkan salah seorang sufi
dari Libanon dalam kitabnya yang membahas tentang keutamaan shalawat,
lafadznya sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ حَتَّى تَجْعَلَ مِنْهُ اْلأَحَدِيَّةَ الْقَيُّوْمِيَّةَ
“Ya Allah berikanlah shalawat kepada Muhammad sehingga engkau
menjadikan darinya keesaan dan qoyyumiyyah (maha berdiri sendiri dan
yang mengurusi makhluknya).”
Padahal sifat Al-Ahadiyyah dan
Al-Qayyumiyyah, keduanya termasuk sifat-sifat Allah Azza wajalla. Maka,
bagaimana mungkin kedua sifat Allah ini diberikan kepada salah seorang
dari makhluk-Nya padahal Allah Ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
D. Shalawat Sa’adah (Kebahagiaan)
Lafadznya sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَدَدَ مَا فِي عِلْمِ اللهِ صَلاَةً دَائِمَةً بِدَوَامِ مُلْكِ اللهِ
“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada baginda kami Muhammad sejumlah
apa yang ada dalam ilmu Allah, shalawat yang kekal seperti kekalnya
kerajaan Allah.”
Berkata An-Nabhani As-Sufi setelah
menukilkannya dari Asy-Syaikh Ahmad Dahlan: “Bahwa pahalanya seperti
600.000 kali shalat. Dan siapa yang rutin membacanya setiap hari Jum’at
1.000 kali, maka dia termasuk orang yang berbahagia dunia akhirat.”
(Lihat Mahabbatur Rasul 287-288)
Cukuplah keutamaan palsu yang disebutkannya, yang menunjukkan kedustaan dan kebatilan shalawat ini.
E. Shalawat Al-In’am
Lafadznya sebagai berikut:
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِهِ عَدَدَ إِنْعَامِ اللهِ وَإِفْضَالِهِ
“Ya Allah berikanlah shalawat, salam dan berkah kepada baginda kami
Muhammad dan kepada keluarganya, sejumlah kenikmatan Allah dan
keutamaan-Nya.”
Berkata An-Nabhani menukil dari Syaikh Ahmad Ash-Shawi:
“Ini adalah shalawat Al-In’am. Dan ini termasuk pintu-pintu kenikmatan
dunia dan akhirat, dan pahalanya tidak terhitung.” (Mahabbatur Rasul
288)
F. Shalawat Badar
Lafadz shalawat ini sebagai berikut:
shalatullah salamullah ‘ala thoha rosulillah
shalatullah salamullah ‘ala yaasiin habibillah
tawasalnaa bibismillah wa bil hadi rosulillah
wa kulli majahid fillah
bi ahlil badri ya Allah
Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Thaha Rasulullah
Shalawat Allah dan salam-Nya semoga tercurah kepada Yasin Habibillah
Kami bertawassul dengan nama Allah dan dengan pemberi petunjuk, Rasulullah
Dan dengan seluruh orang yang berjihad di jalan Allah, serta dengan ahli Badr, ya Allah
Dalam ucapan shalawat ini terkandung beberapa hal:
1. Penyebutan Nabi dengan habibillah
2. Bertawassul dengan Nabi
3. Bertawassul dengan para mujahidin dan ahli Badr
Point pertama telah diterangkan kesalahannya secara jelas pada rubrik Tafsir.
Pada point kedua, tidak terdapat satu dalilpun yang shahih yang
membolehkannya. Allah Idan Rasul-Nya tidak pernah mensyariatkan.
Demikian pula para shahabat (tidak pernah mengerjakan). Seandainya
disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menerangkannya dan para shahabat melakukannya. Adapun hadits:
“Bertawassullah kalian dengan kedudukanku karena sesungguhnya kedudukan
ini besar di hadapan Allah”, maka hadits ini termasuk hadits maudhu’
(palsu) sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaikh
Al-Albani.
Adapun point ketiga, tentunya lebih tidak boleh lagi
karena bertawassul dengan Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam saja tidak
diperbolehkan. Yang dibolehkan adalah bertawassul dengan nama Allah di
mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَ للهِ الأَسْمآءُ الْحُسْنَ فَادْعُوْهُ بِهاَ
“Dan hanya milik Allah-lah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (Al-A’raf: 180)
Demikian pula di antara doa Nabi: “Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan
segala nama yang Engkau miliki yang Engkau namai diri-Mu dengannya.
Atau Engkau ajarkan kepada salah seorang hamba-Mu, atau Engkau turunkan
dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu dalam ilmu yang ghaib.”
(HR. Ahmad, Abu Ya’la dan lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam Ash-Shahihah no. 199)
Bertawassul dengan nama Allah
Subhanahu wa Ta’ala seperti ini merupakan salah satu dari bentuk
tawassul yang diperbolehkan. Tawassul lain yang juga diperbolehkan
adalah dengan amal shalih dan dengan doa orang shalih yang masih hidup
(yakni meminta orang shalih agar mendoakannya). Selain itu yang tidak
berdasarkan dalil, termasuk tawassul terlarang.
Jenis-jenis
shalawat di atas banyak dijumpai di kalangan sufiyah. Bahkan dijadikan
sebagai materi yang dilombakan di antara para tarekat sufi. Karena
setiap tarekat mengklaim bahwa mereka memiliki do’a, dzikir, dan
shalawat-shalawat yang menurut mereka mempunyai sekian pahala. Atau
mempunyai keutamaan bagi yang membacanya yang akan menjadikan mereka
dengan cepat kepada derajat para wali yang shaleh. Atau menyatakan bahwa
termasuk keutamaan wirid ini karena syaikh tarekatnya telah
mengambilnya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara langsung dalam
keadaan sadar atau mimpi. Di mana, katanya, Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam telah menjanjikan bagi yang membacanya kedekatan dari
beliau, masuk jannah (surga) ,dan yang lainnya dari sekian propaganda
yang tidak bernilai sedikitpun dalam timbangan syariat. Sebab, syariat
ini tidaklah diambil dari mimpi-mimpi. Dan karena Rasul tidak
memerintahkan kita dengan perkara-perkara tersebut sewaktu beliau masih
hidup.
Jika sekiranya ada kebaikan untuk kita, niscaya beliau
telah menganjurkannya kepada kita. Apalagi apabila model shalawat
tersebut sangat bertentangan dengan apa yang beliau bawa, yakni
menyimpang dari agama dan sunnahnya. Dan yang semakin menunjukkan
kebatilannya, dengan adanya wirid-wirid bid’ah ini menyebabkan
terhalangnya mayoritas kaum muslimin untuk mendekatkan diri kepada Allah
dengan ibadah-ibadah yang justru disyari’atkan yang telah Allah jadikan
sebagai jalan mendekatkan diri kepada-Nya dan memperoleh keridhaannya.
Berapa banyak orang yang berpaling dari Al Qur’an dan mentadabburinya
disebabkan tenggelam dan ‘asyik’ dengan wirid bid’ah ini? Dan berapa
banyak dari mereka yang sudah tidak peduli lagi untuk menghidupkan
sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena tergiur
dengan pahala ‘instant’ yang berlipat ganda. Berapa banyak yang lebih
mengutamakan majelis-majelis dzikir bid’ah semacam buatan Arifin Ilham
daripada halaqah yang di dalamnya membahas Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam? Laa haula walaa quwwata illaa
billah.
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar