Tujuan hidup adalah sebuah ketetapan yang mendasari semua rencana dan kerja kita, dan yang menjadi penjaga arah perjalanan.
Ngapain Melipat Pakaian !
Melipat pakaian jika sudah kering adalah perkara yang terpuji. Namun
disana ada fenomena melipat, dan menyingsingkan pakaian yang tercela,
yaitu ketika seorang hendak melaksanakan sholat.
Sebagian orang
ada yang menyingsingkan lengan bajunya ketika berwudhu’, lalu ia lupa
menurunkannya. Ada juga yang sengaja sebelum sholat, dalam sholat maupun
luar, ia selalu melipat lengan bajunya, karena ia mengikuti gaya dan
model trend yang dilakukan oleh sebagian orang-orang fasiq dari kalangan
artis dan bintang film.
Kesalahan lain dalam sholat yang biasa
dilakukan oleh sebagian orang, mereka melakukan sholat dengan memakai
pakaian yang menampakkan pundaknya, seperti memakai singlet. Lebih parah
lagi, jika seorang sholat hanya memakai sarung atau celana panjang,
tanpa menutupi badannya bagian atas.
Nah, bagaimana hukum dan
perinciannya menurut syari’at? Ikutilah pembahasan berikut agar para
Penbaca yang budiman mengetahui hukumnya, lalu berusaha diamalkan, dan
disampaikan kepada orang lain. Singkat kata, silakan baca berikut ini:
* Melipat & Menyingsingkan Lengan Baju ketika Shalat
Diantara kesalahan sebagian orang yang melaksanakan shalat, mereka
menyingsingkan pakaian sebelum masuk (melakukan) shalat. Perkara seperti
ini dilarang dalam syari’at kita. Kita diperintahkan untuk membiarkan
pakaian kita, tanpa harus ditahan, dan disingsingkan sebagaimana halnya
orang berambut panjang diperintahkan agar rambutnya dibiarkan, tanpa
disampirkan ke belakang.
“Saya diperintahkan sujud di atas tujuh anggota badan, tidak menahan
rambut dan tidak pula menahan pakaian”. [HR. Al-Bukhoriy (783), Muslim
dalam Kitab Ash-Sholah (490), Abu Dawud (889 & 890), An-Nasa’iy
dalam Kitab Ash-Sholah (1113), Ibnu Majah (1040), dan Ibnu Khuzaimah
(782)]
Ibnu Khuzaimah-rahimahullah- membuatkan judul bagi
hadits ini, “Bab: Larangan Menahan Pakaian dalam Shalat”.[Lihat Shohih
Ibnu Khuzaimah (1/383)]
Imam Nawawi-rahimahullah- berkata,
“Para ulama telah sepakat tentang terlarangnya melakukan shalat sedang
pakaian atau lengannya tersingsingkan”.[Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih
Muslim (4/209)]
Al-Imam Malik telah berkata tentang orang yang
shalat dalam keadaan menyingsingkan lengan pakaiannya, “Jika demikian
keadaan pakaiannya dan kondisinya sebelum melakukan shalat, di mana dia
sedang melakukan suatu perbuatan, yang menyebabkan ia menyingsingkan
pakaiannya. Kemudian dia melakukan shalat dalam keadaannya itu, maka
tidaklah mengapa dia shalat dalam kondisi demikian itu. Jika ia
melakukannya semata-mata untuk menahan rambut dan pakaian itu, maka
tidak ada kebaikan baginya”. [Lihat Al-Mudawwanah Al-Kubro (1/96)]
Apa yang dinyatakan oleh Al-Imam Malik -rahimahullah- disanggah oleh
Syaikh Masyhur Hasan Salman -hafizhahullah- ketika beliau berkata,
“Lahiriahnya larangan itu bersifat muthlaq, baik dia menyingsingkannya
untuk shalat maupun sebelumnya telah menyingsingkannya, lalu shalat
dalam keadaan seperti itu”. [Lihat Al-Qoul Al-Mubin (hal. 43)]
Setelah An-Nawawi membicarakan tentang hal ini pada pembicaraan
sebelumnya, dia berkata, “Larangan menyingsingkan pakaian adalah
larangan makruh tanzih. Kalau dia shalat dalam keadaan seperti itu,
berarti dia telah memperburuk shalatnya, meskipun shalatnya tetap sah.
Dalam perkara itu, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobariy berhujjah
dengan ijma’ (kesepakatan) ulama. Sedangkan Ibnul Mundzir telah
menyebutkan tentang pendapat wajibnya mengulangi shalat dari Al-Hasan
Al-Basriy”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (4/209)]
Kemudian
An-Nawawi-rahimahullah- berkata lagi, “Lalu madzhab jumhur (menjelaskan)
bahwa larangan itu bersifat mutlak bagi orang yang shalat dalam keadaan
seperti itu, baik dia sengaja melakukannya untuk shalat atau karena ada
maksud lain. Ad-Dawudiy berkata, “Larangan itu dikhususkan bagi orang
yang melakukan untuk shalat. Sedangkan pendapat yang shahih adalah
pendapat yang pertama. Itulah lahiriah pendapat yang ternukil dari
sahabat atau yang lainnya”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (4/209)]
Jadi, menyingsingkan lengan baju hukumnya terlarang, baik ia
singsingkan karena mau sholat; ataukah ia singsingkan sebelum sholat
saat ia kerja, lalu ia biarkan tersingsingkan dalam sholat. Pokoknya,
terlarang secara muthlaq !
* Shalat dalam Keadaan Kedua Bahu Terbuka
Diantara adab yang perlu dijaga oleh seorang muslim saat hendak sholat,
ia memakai baju yang sopan, dan sesuai syari’at, karena ia akan
bermunajat dengan Allah Robbul alamin. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda,
“Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu pakaian,
sehingga tidak ada sedikitpun pakaian yang menutupi kedua bahunya”. [HR.
Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (359), dan Muslim dalam Shohih-nya (516)]
Ibnu QudamahAl-Maqdisiy -rahimahullah- berkata, “Orang yang shalat,
wajib meletakkan suatu pakaian di atas bahunya, jika dia mampu
menutupinya. Ini adalah pendapat Ibnul Mundzir. Disebutkan dari Abu
Ja’far (ia berkata), “Sesungguhnya shalat itu tidak memenuhi bagi siapa
yang tidak menutupi kedua bahunya. Kebanyakan fuqaha berkata,”Yang
demikian itu tidak wajib dan bukan menjadi syarat sahnya shalat. Ini
pendapat Malik, as-Syafi’iy dan yang lainnya, sebab keduanya bukan
aurat. Maka anggota badan yang lain diserupakan dengannya”. [Lihat
Al-Mughni (1/618)]
Larangan yang ada pada hadits yang lalu
mengharuskan pengharaman hal itu, dan diutamakan di atas qiyas.
Sedangkan madzhab jumhur mengatakan, “Tidak membatalkan shalatnya”.
Tetapi mereka berkata, “Larangan ini adalah untuk menyatakan makruh,
bukan larangan haram. Maka kalau seseorang shalat dengan satu pakaian
yang telah menutupi auratnya, meskipun tidak ada satu pun pakaian yang
menutupi bahunya, shalatnya tetap sah dan perbuatan itu dibenci
(makruh), baik dia mampu menjadikan sesuatu sebagai penutup bahunya
ataupun tidak”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (4/232)]
Al-Kirmaniy
-rahimahullah- telah keliru, karena dia mendakwakan adanya ijma’
tentang bolehnya tidak menutupi bahu (dalam shalat)!!! [Lihat Fath
Al-Bari (1/472)]
Perkataannya terbantah oleh madzhab Ahmad dan
Ibnul Mundzir –sebagaimana yang telah kami jelaskan- dan sebagian ulama
salaf, serta kelompok yang sedikit dan sebagian ahli ilmu. [Lihat Syarh
Shohih Muslim (4/232), Al-Majmu’ (3/175), dan Jami’ At-Tirmidziy
(1/168)]
Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- telah memberikan
komentar terhadap pernyataan Al-Kirmaniy seraya berkata, “Demikianlah
yang dikatakan oleh Al-Kirmaniy!! Dia telah lupa terhadap penjelasan
yang baru disebutkan dari An-Nawawi tentang keterangan yang telah kami
nukilkan dari Ahmad. Sesungguhnya Ibnul Mundzir telah menukil dari
Muhammad bin ‘Ali tentang larangan tidak menutupinya. Ucapan
At-Tirmidziy juga menunjukkan adanya khilaf (perbedaan). Ath-Thahawiy
membuatkan bab tentang hal ini dalam Syarhul Ma’aniy[1/377] dan menukil
adanya larangan dalam perkara itu dari Ibnu Umar, kemudian dari Thawus
dan An-Nakha’iy. Selain Ath-Thohawiy telah menukilkan dari Ibnu Wahb dan
Ibnu Jarir. Syaikh Taqiyuddin As-Subkiy telah menukil tentang wajibnya
perkara itu dari teks ucapan Asy-Syafi’iy dan dia telah memilihnya.
Tetapi yang telah diketahui dalam kitab-kitab Asy-Syafi’iyyah bukan
itu”. [Lihat Fath Al-Bari (1/472)]
Al-Qodhi-rahimahullah- telah
berkata, “Sungguh telah ternukil riwayat dari Ahmad yang menunjukkan
bahwa perkara tersebut tidak termasuk syarat shalat dan dia telah
mengambil pendapat itu dari riwayat Mutsanna dari Ahmad tentang orang
yang shalat memakai sirwal (celana lebar) dan pakaiannya menutupi salah
satu dari kedua bahunya, dan yang lainnya terbuka, “Dimakruhkan”. Lalu
ditanyakan kepada beliau, “Dia disuruh mengulangi (sholatnya)?” Maka
beliau tidak berpendapat wajibnya mengulangi shalat.
Jawaban
ini mengandung kemungkinan, bahwa dia tidak berpendapat wajibnya
mengulangi shalat, karena orang itu telah menutupi sebagian dari kedua
bahunya. Maka dicukupkan menutupi salah satu dari kedua bahunya, karena
dia telah menjalankan lafazh hadits tersebut.”
Sisi persyaratan
dari pendapat ini: sesungguhnya dia dilarang shalat dalam keadaan kedua
bahunya terbuka. Larangan itu mengandung adanya kerusakan pada sesuatu
yang dilarang, karena menutupinya adalah perkara yang wajib dalam
shalat. Maka membiarkannya terbuka akan merusak shalatnya. Sebagaimana
hukum menutupi aurat”. [Lihat Al-Mughni 1/619]
Akan tetapi,
tentunya tidak wajib menutupi kedua bahu seluruhnya; sebaliknya cukup
menutupi sebagiannya. Demikian juga cukup menutupi kedua bahu dengan
pakaian tipis, yang menampakkan warna kulit, karena kewajiban menutupi
keduanya berdasarkan hadits tersebut bisa terjadi dalam keadaan ini
serta keadaan sebelumnya, maksudnya: baik dia menutupkan pakaian pada
kedua bahunya atau tidak. [Lihat Al-Mughni (1/619)]
Sungguh
kami telah sebutkan teks dari Imam Ahmad tentang orang yang shalat dalam
keadaan salah satu dari kedua bahunya terbuka, maka dia tidak
berpendapat wajibnya mengulangi shalat.
Dalam hal ini para fuqaha berkata, “Jika seseorang melekatkan tali atau yang sejenisnya pada bahunya, apakah telah mencukupi?”
Lahiriah pendapat Al-Khiroqiy-rahimahullah- yang berbunyi, “Jika di
atas bahunya ada sedikit pakaian,” tidak mencukupinya. Karena
perkataannya: “…sedikit pakaian”, sedang tali seperti ini tidak
dinamakan pakaian.
Inilah pendapat Al-Qadhi Abu Ya’laa. Sedang
Ibnu Qudamah membenarkannya seraya berkata, “Yang benar, yang demikian
itu tidak mencukupinya, karena nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-
bersabda,
“Apabila salah seorang dari kalian shalat dengan satu pakaian, maka
hendaklah dia menyilangkan di antara kedua tepinya di atas kedua
bahunya.” [HR. Abu Dawud (627)]
Karena perintah meletakkan kain
pada kedua bahu untuk menutupinya. Maka tidak cukup hanya dengan
menempelkan tali dan itu tidak dinamakan sebagai penutup”. [Lihat
Al-Mughni (1/620)]
Dari sini, diketahuilah kesalahan sebagian
orang yang shalat, khususnya shalat pada musim panas, dengan memakai
pakaian singlet yang bertali kecil, diletakkan pada bahunya.
Shalat mereka dalam keadaan seperti ini adalah batal menurut mazhab
Hambali dan sebagian ulama salaf. Sedangkan menurut pendapat jumhur
(kebanyakan ulama’) hukumnya makruh (dibenci). Keadaan mereka seperti
ini, jika tidak terjatuh dalam kesalahan tersebut, maka mereka terjatuh
dalam kesalahan shalat dengan memakai pakaian ketat yang membentuk
aurat, atau dengan pakaian transfaran yang menampakkan warna kulit badan
sebagaimana hal ini telah dijelaskan pada edisi yang telah lewat.
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 66 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar