Kenali Agamamu Sebelum Mencela Saudaramu
Bisik-bisik yang berlangsung tidak jauh dariku menarik perhatianku.
Mengikuti pandangan dua orang gadis muda pelayan toko swalayan tersebut,
kulihat sepasang suami isteri sedang berbelanja. Tidak ada yang salah
dari pasangan itu, kecuali bahwa sang isteri memakai pakaian lebar
bercadar dengan warna hitam, sedangkan sang suami dengan celana yang
tidak isbal (baca: cingkrang) dan berjanggut. Entah karena merasa jengah
menark perhatian beberapa orang, atau memang karena sedang terburu-buru
dan kebutuhannya telah didapatkan , keduanya pun keluar tidak lama
kemudian.
Sikap seperti itu berjangkit hampir di mana-mana.
Hanya karena tidak biasa menurut pandangan orang awam, karena
ketidaktahuannya akan agama, menyebabkan begitu mudah menilai orang
lain, ketika mereka berbeda dengan kebiasaan sebagian besar masyarakat.
Padahal kebenaran tidak bergantung pada banyaknya orang yang
melakukannya, dan sebaliknya, mereka yang sedikit tidak berarti bahwa
mereka adalah orang-orang yang sesat.
Agama Islam saat ini
cenderung asing bagi penganutnya sendiri. Satu contoh kecil di atas.
Sepasang suami isteri yang mencoba untuk istiqamah melaksanakan
sunnah-sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan penampilan luar
pakaian keseharian, mendapatkan penilaian miring, pandangan aneh penuh
kecurigaan, atau bahkan mengundang ejekan, objek untuk ditertawakan.
Seandainya kedua gadis itu tahu ajaran Islam yang sebenar-benarnya,
tentu mereka akan merasa malu, memperbincangkan orang lain yang
bersungguh-sungguh menjalankan agama bahkan sampai pada penampilan,
tegar di tengah pandangan miring dan melecehkan masyarakat, sedangkan
mereka sendiri sama sekali tidak memenuhi kewajibannya menutup aurat!
Itu baru contoh kecil. Belum lagi dalam masalah ibadah. Ketika
seseorang shalat dengan telunjuk digerakkan saat tahiyat, atau ketika
meletakkan sutrah ketika sedang shalat sendirian, dianggap sesuatu yang
aneh, dan sebagian yang melihatnya lalu bertanya-tanya pada diri
sendiri, “Ini dari aliran mana lagi...?” Jika saja kita merenungkan
hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam berikut, mungkin kita akan lebih
berhati-hati memberikan cap untuk sesuatu yang kita tidakmemiliki
pengetahuan tentangnya:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku” (HR Bukhari Muslim)
Jika kita bukan termasuk golongan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam, lalu akan berada di mana kita? Padahal tidak satu pun golongan
yang selamat kecuali orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para
sahabatnya.
Kiranya akan lebih baik sebelum menunjukkan sikap
apapun, kita bersikap lebih arif, mengoreksi diri kita. Seberapa jauh
kita mengenali dan melaksanakan tuntunan agama, sebelum menjatuhkan
penilaian kepada orang lain. Dan saya yakin bahwa kedua gadis remaja
dengan pakaian khas penjaga toko yang sedikit ketat itu benar-benar
tidak mengetahui, bahwa pakaian sepasang suami isteri itu adalah syar’i,
sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sekali lagi, fenomena yang terjadi di tengah masyarakat menunjukkan
betapa agama Islam asing bagi sebagian penganutnya. Sebuah upaya
memurnikan agama dari segala bentuk kesyirikan, bid’ah dan kurafat
dianggap sebagai fanatik, keras, terbelakang, bahkan sesat. Pada
masyarakat, budaya - yang diturunkan dari nenek moyang, justru dipegang
teguh, menggantikan kedudukan agama. Ketika seseorang misalnya,
menghindari peringatan kematian ke tujuh, empat puluh, dan seterusnya
yang bukan bagian dari agama Islam, dianggap tidak bermasyarakat, tidak
perduli, egois, dan sekali lagi yang lebih buruk.. sesat! Padahal Allah
telah menegaskan di dalam kitabnya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ
اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا
عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا
يَهْتَدُونَ /div>
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak),
tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan)
nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat
petunjuk?" (QS Al-Baqarah : 170).
Alangkah lebih baik untuk
segala sesuatu yang berkenaan dengan perkara agama, amal ibadah, kita
mulai membiasakan diri untuk bertanya, apakah amalan ini memiliki
landasan di dalam agama, yang sumbernya adalah Al-Qur’an dan Sunnah,
sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan di dalam
firman-Nya:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl : 43)
Ya, bertanyalah, karena agama ini telah sempurna, dan tidak ada sesuatu
yang tidak di atur di dalamnya. Bertanyalah, untuk lebih mengenali
agama sebelum memberikan celaan kepada orang lain yang berusaha dengan
sungguh-sungguh menjalankan syariat yang agung ini karena ketidaktahuan
kita. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim rahimahullah: “Ilmu
itu memiliki tujuh tingkatan. Tingkatan yang pertama adalah bertanya
dengan adab yang baik.”
Bertanyalah dan mulailah menginstrospeksi
diri. Jika kita belum dapat bersikap seperti mereka, orang-orang yang
teguh di atas agama berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, setidaknya kita
berusaha ke arah itu, dan menjaga sikap untuk tidak melontarkan hinaan,
cemoohan, meski hanya dengan isyarat mata sekalipun, agar kita tidak
termasuk orang yang membenci sunnah Rasulullah. Karena sesungguhnya
Rasulullah shallalahu alaihi wasallam sendiri telah mengancam kita:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku” (HR Bukhari Muslim).
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar