Dalil Waktu-Waktu Shalat Wajib dalam Sehari dan Semalam
Allah ta’ala telah berfirman :
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
Berkata Asy-Syinqithiy rahimahullah :
ذكر في هذه الآية الكريمة أن الصلاة كانت ولم تزل على المؤمنين كتابا، أي: شيئا مكتوبا عليهم واجبا حتما موقوتا
“Dalam ayat yang mulia ini, Allah ta’ala menyebutkan bahwa shalat telah
dan akan senantiasa menjadi kewajiban bagi orang-orang mukmin, yaitu :
sesuatu yang ditetapkan atas mereka dengan wajib dan sesuai dengan
ketentuan waktunya” [Adlwaaul-Bayan, 1/279].
Allah ta’ala berfirman :
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam
dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya salat shubuh itu
disaksikan (oleh malaikat)” [QS. Al-Israa’ : 78].
Ayat di atas
telah menjelaskan waktu-waktu shalat secara global. Firman Allah ta’ala {
لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ} “dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam” mengandung empat macam waktu shalat,
yaitu Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isya’. Dan kemudian ditambah satu
lagi dengan kelanjutannya : {وَقُرْآنَ الْفَجْرِ} “dan Qur’aanal-Fajr” –
yaitu waktu Fajar/Shubuh.
Melalui hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
radliyallaahu ‘anhuma, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan lebih lanjut tentang waktu-waktu shalat dengan sabdanya :
وقت الظهر إذا زالت الشمس. وكان ظل الرجل كطوله. ما لم يحضر العصر. ووقت
العصر ما لم تصفر الشمس. ووقت صلاة المغرب ما لم يغب الشفق. ووقت صلاة
العشاء إلى نصف الليل الأوسط. ووقت صلاة الصبح من طلوع الفجر. ما لم تطلع
الشمس. فإذا طلعت الشمس فأمسك عن الصلاة. فإنها تطلع بين قرني شيطان
“Waktu Dhuhur jika matahari telah tergelincir sampai bayangan seseorang
sama dengan tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar. Waktu ‘Ashar
tetap ada selama matahari belum berwarna kuning. Waktu shalat Maghrib
selama mega merah (syafaq) belum hilang. Waktu shalat ‘Isya’ hingga
tengah malam. (Waktu) shalat Shubuh mulai terbitnya fajar hingga terbit
matahari. Apabila matahari telah terbit, maka berhentilah dari shalat,
karena matahari itu terbit di antara dua tanduk syaithan” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 612, Ahmad 2/210, Ath-Thayalisiy no. 2249, Ath-Thahawiy
1/150, Ibnu Hibban no. 1473, Al-Baihaqiy 1/365, Ibnu Khuzaimah no. 326,
dan yang lainnya].
Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :
Shalat Dhuhur
Makna Dhuhur adalah waktu zawal (tergelincirnya matahari). Dan yang dimaksud dengan zawal adalah :
ميل الشمس عن كبد السماء إلى المغرب.
“Tergelincirnya matahari dari pusat/tengah langit ke arah barat”
[Mishbaahul-Muniir, Majmuu’ 3/24, dan Al-Mughniy 1/372 – melalui Shahih
Fiqhis-Sunnah 1/237].
Waktu mulai tergelincirnya matahari
adalah waktu dimulainya shalat Dhuhur. Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama mengenai hal ini. Dinamakan ‘Dhuhur’ karena ia merupakan
shalat pertama yang dilakukan oleh malaikat Jibril bersama Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.[1]
Para ulama berbeda pendapat
mengenai berakhirnya waktu Dhuhur. Yang rajih adalah ketika bayangan
benda sama dengan tingginya, sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
radliyallaahu ‘anhuma di atas.
Mengenai hadits Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshariy radlyallaahu ‘anhuma :
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى الظهر حين زالت الشمس وكان الفيء
قدر الشراك ثم صلى العصر حين كان الفيء قدر الشراك وظل الرجل
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk melaksanakan
shalat Dhuhur saat matahari telah tergelincir dimana panjang bayangan
sama dengan tali sandal, lalu beliau mengerjakan shalat ‘Ashar saat
panjang bayangan sama dengan tali sandal dan tinggi orang” [Diriwayatkan
oleh An-Nasa’iy no. 524; shahih].
Maka maksud hadits tersebut
adalah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat Dhuhur di akhir
waktu dan selesai pada panjang bayangan sama dengan tingginya. Saat
itulah waktu ‘Ashar masuk.
Mengakhirkan pelaksanaan shalat
Dhuhur – asal tidak sampai keluar dari waktunya – adalah disunnahkan
saat cuaca panas, sebagaimana hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata :
كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم في سفر، فأراد المؤذن
أن يؤذن للظهر، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: (أبرد). ثم أراد أن يؤذن،
فقال له: (أبرد). حتى رأينا فيء التلول، فقال النبي صلى الله عليه وسلم:
(إن شدة الحر من فيح جهنم، فإذا اشتد الحر فأبردوا بالصلاة).
“Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu
perjalanan. Muadzdzin ketika itu ingin mengumandangkan adzan untuk
shalat Dhuhur. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Kemudian muadzdzin ingin
mengumandangkannya lagi, beliau pun kembali bersabda : “Tunggulah hingga
(suhu/cuaca) dingin”. Hingga kami melihat bayangan bukit. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya panas yang amat
sangat (di waktu siang) berasal dari uap neraka Jahannam. Apabila siang
terasa teramat panas, maka tundalah shalat hingga dingin” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari no. 539, Muslim no. 616, Ibnu Khuzaimah no. 328,
At-Tirmidzi no. 158, dan yang lainnya].
Shalat ‘Ashar
‘Ashar : Dimutlakkan untuk waktu sore hingga matahari berwarna
kemerah-merahan, yang saat itu merupakan akhir waktu siang. Shalat ini
juga disebut sebagai shalat Wusthaa[2].
Awal waktu ‘Ashar
adalah dimulainya panjang bayangan sama dengan tinggi benda. Ini adalah
madzhab jumhur ‘ulama, berdasarkan dalil di atas. Abu Hanifah mempunyai
pendapat lain ketika ia menyatakan bahwa waktu ‘Ashar dimulai ketika
panjang bayangan dua kali tinggi benda.[3]
Para ulama berbeda
pendapat mengenai batas akhir waktu ‘Ashar. Yang rajih adalah sampai
matahari menguning atau memerah – sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
radliyallaahu ‘anhuma yang disebutkan di awal. Dan juga hadits Abu Musa
radliyallaahu ‘anhu :
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في اليوم
الأول العصر والشمس مرتفعة، وفي اليوم الثاني أخر العصر فانصرف منها
والقائل يقول : احمرَّت الشمس....
“Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat ‘Ashar pada hari pertama
yang saat itu matahari masih tinggi. Dan pada hari kedua, beliau
mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga ada yang berkata : ‘Matahari telah
berwarna kemerah-merahan….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 614, Abu Dawud
no. 395, dan An-Nasa’iy no. 523].
Inilah pendapat Ahmad, Abu Tsaur, dan satu riwayat dari Malik.[4]
Adapun waktu daruratnya sampai matahari terbenam. Hal ini didasarkan
hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
من أدرك من الصبح ركعة قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح، ومن أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر.
“Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at shalat Shubuh sebelum
matahari terbit, maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Dan
barangsiapa mendapatkan satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum matahari
terbenam, maka ia telah mendapatkan shalat ‘Ashar” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. 579, Muslim no. 608, At-Tirmidzi no. 186, Ibnu Majah no.
699, Ibnu Khuzaimah no. 985, Ad-Daarimiy no. 1258, Ibnu Hibban no. 699,
dan yang lainnya].[5]
Catatan :
§ Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat ‘Ashar saat matahari masih tinggi.
عن أنس بن مالك قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي العصر والشمس
مرتفعة، فيذهب الذاهب إلى العوالي فيأتيهم والشمس مرتفعة، وبعض العوالي من
المدينة على أربعة أميال أو نحوه.
Dari Anas bin Maalik ia
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat
‘Ashar pada waktu matahari masih tinggi. Kemudian ada seseorang yang
pergi ke Al-‘Awaaliy (setelah shalat ‘Ashar), dan ia tiba di sana saat
matahari masih agak tinggi – dimana jarak antara Al-‘Awaaliy dan Madinah
kira-kira 4 mil” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 550, Muslim 621,
Ibnu Hibban no. 1518-1519, dan yang lainnya].
§ Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat ‘Ashar saat cuaca gelap/mendung.
عن أبي المليح قال : كنا مع بريدة في غزوة في يوم ذي غيم. فقال : بكِّروا
بصلاة العصر، فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من ترك صلاة العصر فقد
حبط عمله.
Dari Abu Al-Maliih ia berkata : “Kami pernah bersama
Buraidah pada satu peperangan yang waktu itu cuaca berawan/gelap. Ia
berkata : ‘Kerjakanlah shalat ‘Ashar di awal waktu, karena Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang meninggalkan
shalat ‘Ashar, sungguh telah hilang semua amalnya” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. 553, An-Nasa’iy no. 474, Ath-Thayalisiy no. 810, Ibnu Abi
Syaibah 1/343 dan 2/237, Al-Marwaziy dalam Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah
no. 903, Ibnu Khuzaimah no. 336, Al-Baihaqiy 1/444, Al-Baghawiy no. 369,
dan yang lainnya].
Shalat Maghrib
Maghrib secara asal
bermakna : terbenamnya matahari, atau ketika matahari akan tenggelam.
Dimutlakkan menurut bahasa pada makna waktu dan tempat terbenamnya
matahari. Pada waktu itulah shalat Maghrib dilaksanakan.[6]
Pada masyarakat ‘Arab dahulu, orang-orang sering menyebut Maghrib dengan
‘Isya’. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya
melalui sabdanya :
لا تغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم المغرب ! قال : وتقول الأعراب : هي العشاء.
“Janganlah kalian dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi dalam
menyebut nama shalat kalian, yaitu Maghrib. Orang-orang Arab Baduwi
menyebutnya : ‘Isya’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 563].
Awal waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam dan hilang secara sempurna. Para ulama telah bersekapat mengenai hal ini.
عن سلمة بن الأكوع أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي المغرب إذا غربت الشمس وتوارت بالحجاب.
Dari Salamah bin Al-Akwa’ ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam biasa mengerjakan shalat Maghrib saat matahari telah terbenam
dan tidak nampak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 561, Muslim no.
636, Ibnu Majah no. 688, Ahmad 4/54, dan yang lainnya].
Tanda
lain yang juga bisa diketahui adalah : Hilangnya mega dari atas gunung
dan datangnya gelap malam dari arah timur, serta munculnya
bintang-bintang.[7]
Adapun akhir waktu Maghrib, para ulama
berselisih pendapat. Yang raajih adalah pendapat yang mengatakan bahwa
akhir waktu Maghrib adalah ketika mega merah telah hilang di sebelah
barat, sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma yang
disebutkan di awal.
Disunnahkan untuk mensegerakan pelaksanaan shalat Maghrib, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا تزال أمتي بخير أو قال على الفطرة ما لم يؤخروا المغرب إلى أن تشتبك النجوم
“Senantiasa umatku berada di atas kebaikan –atau beliau bersabda : ‘di
atas fithrah’ – selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib hingga
bermunculan bintang-bintang” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 418, Ibnu
Khuzaimah no. 339, Ibnu Majah no. 689, Ahmad 5/421, dan yang lainnya;
hasan].
Shalat ‘Isya’
‘Isya’ adalah nama dari awal
kondisi gelap dari terbenamnya matahari hingga benar-benar gelap di
waktu malam. Dinamakan shalat ‘Isya’ karena ia dilakukan pada waktu
tersebut.
Shalat ‘Isya’ disebut juga Shalaatul-Aakhirah, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أيما امرأة أصابت بخورا، فلا تشهد معنا العشاء الآخرة
“Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia menghadiri
Shalatul-Aakhirah (shalat ‘Isya’) bersama kami “ [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 444, Abu Dawud no. 4175, An-Nasa’iy no. 5128 dan 5263, Abu
‘Awaanah 2/17, Al-Baihaqiy 3/333, serta Al-Baghawiy no. 861].
Selain itu, shalat ‘Isya’ juga dinamakan dengan shalat ‘atamah, sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لو يعلم الناس ما في النداء والصف الأول، ثم لم يجدوا إلا أن يستهموا
لاستهموا عليه. ولو يعلمون ما في التهجير لاستبقوا إليه، ولو يعلمون ما في
العتمة والصبح لأتوهما ولو حبوا
“Sekiranya orang-orang
mengetahui keutamaan menyambut seruan adzan dan berada di shaff pertama
kemudian hal tersebut hanya dapat diraih dengan mengundi, niscaya mereka
akan mengundi demi mendapatkannya. Sekiranya mereka mengetahui
keutamaan at-tahjiir (shalat di awal waktunya), niscaya mereka akan
berlomba mengerjakannya. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan shalat
‘atamah (‘Isya’) dan Shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun
harus merangkak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 615, 653, 720, 2689;
Muslim no. 437; At-Tirmidziy no. 225-226, An-Nasa’iy no. 540, 671; Ibnu
Khuzaimah no. 391, 1475, 1554; Abu ‘Awaanah 1/333, 2/37; Ibnu Hibban no.
1659, 2153; dan yang lainnya].
Namun penyebutan shalat ‘atamah tersebut adalah makruh, karena telah ada larangan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لا تغلبنكم الأعراب على اسم صلاتكم. ألا إنها العشاء. وهم يعتمون بالإبل
“Janganlah kalian dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi dalam
penyebutan shalat kalian. Ketahuilah bahwa sebutannya adalah ‘Isya’
(bukan ‘atamah). Karena mereka mengisi waktu ‘atamah untuk memerah”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 644, An-Nasa’iy no. 542, ‘Abdurrazzaq no.
2151-2152, Abu Dawud no. 4984, Al-Baghawiy no. 377, Ibnu Hibban no.
1532, Ahmad 2/144, dan yang lainnya].
Awal waktu ‘Isya’ adalah saat syafaq (mega merah) telah benar-benar hilang. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai hal ini.
Adapun akhir waktu ‘Isya’, para ulama berselisih pendapat.
Pendapat pertama mengatakan akhir waktu ‘Isya’ adalah akhir sepertiga
malam pertama. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’iy dalam
al-qaulul-jadid-nya, Abu Hanifah, serta yang masyhur dari madzhab
Malikiyyah.[8] Dalil mereka adalah hadits imamah malikat Jibril terhadap
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana telah lalu, dimana di
dalamnya disebutkan :
أنه صلاها بالنبي صلى الله عليه وسلم في اليوم الثاني ثلث الليل.
“Bahwa sesungguhnya ia melaksanakan shalat bersama Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pada hari kedua saat sepertiga malam pertama”.
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu ‘Isya’ adalah hingga
pertengahan malam. Ini merupakan pendapat Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak,
Ishaq (bin Rahawaih), Abu Tsaur, dan ashhaabur-ra’yi. Asy-Syafi’iy dalam
al-qaulul-qadiim-nya mengatakan boleh mengerjakan shalat ‘Isya’ setelah
waktu tersebut, namun hal itu makruh. Ia berpendapat bahwa waktu
tersebut adalah waktu pilihan (waqtul-ikhtiyaar) dimana seseorang masih
boleh mengerjakannya hingga waktu fajar. Demikian pula pendapat Ibnu
Hazm. Dalil mereka adalah hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu
‘anhuma sebagaimana disebutkan di awal, dan juga hadits Anas
radliyallaahu ‘anhu secara marfu’ :
أخر النبي صلى الله عليه وسلم صلاة العشاء إلى نصف الليل،
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan pelaksanaan shalat
‘Isya’ hingga pertengahan malam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 572].
Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu ‘Isya’ adalah hingga
munclnya fajar shaadiq – walaupun seseorang tidak dalam kondisi darurat.
Ini merupakan pendapat ‘Atha’, Thaawus, ‘Ikrimah, Dawud Adh-Dhaahiriy,
dan teriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah. Pendapat ini
merupakan pilihan Ibnul-Mundzir.[9] Dalil mereka di antaranya adalah
hadits Abu Qatadah, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
إنما التفريط على من لم يصل الصلاة حتى يجيء وقت صلاة أخرى
“Sikap peremehan itu hanya ada pada orang yang tidak melaksanakan
shalat hingga datang waktu shalat berikutnya” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 311, Abu Dawud no. 441, Ibnul-Jaarud no. 681, Ibnu Khuzaimah no.
681, Ibnu Hibban no. 1460, An-Nasa’iy no. 615-616, Ad-Daaruquthniy
1/386, Al-Baihaqiy 1/404, dan yang lainnya].
Juga hadits :
عن عائشة؛ قالت: أعتم النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة. حتى ذهب عامة
الليل. وحتى نام أهل المسجد. ثم خرج فصلى. فقال "إنه لوقتها. لولا أن أشق
على أمتي"
Dari ‘Aisyah ia berkata : “Suatu malam Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat hingga
(hampir) habis waktu malam, dan hingga para jama’ah jama’ah yang ada di
masjid tertidur. Kemudian beliau keluar untuk shalat dan bersabda :
‘Sesungguhnya inilah waktunya (yang paling utama) jika saja tidak
memberatkan bagi umatku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 638, Ahmad 6/150,
‘Abdurrazzaq no. 2114, Al-Baihaqiy 1/450, Ibnu Khuzaimah no. 348, Ishaq
bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 1037, dan yang lainnya].
Yang
raajih dari tiga pendapat tersebut adalah pendapat kedua (hingga
pertengahan malam) – karena penunjukan dalilnya sangat jelas. Hadits Abu
Qatadah menunjukkan perbuatan maksiat dari seorang hamba yang
menunda-nunda shalat. Selain itu, jika hadits tersebut dipahami
sebagaimana pemahaman pendapat ketiga, konsekuensinya adalah semua waktu
shalat adalah saling bersambung. Tentu saja ini tidak bisa diterima,
karena pemahaman ini tidak berlaku untuk waktu shalat Shubuh. Begitu
pula yang seharusnya dipahami untuk waktu shalat ‘Isya’. Adapun waktu
dari tengah malam hingga fajar adalah waktu ikhtiyaar dimana seseorang
masih bisa mengerjakan shalat ‘Isya’ di waktu ini pada saat
mendesak/darurat.
Sedangkan hadits ‘Aisyah yang terdapat
perkataan : ‘hingga (hampir) habis waktu malam’ ; maknanya adalah
sebagian besar waktu malam. Dan perkataan : ‘sesungguhnya inilah
waktunya (yang paling utama)’ ; harus dita’wil – bahwa waktu tersebut
tetap tidak boleh keluar setelah waktu pertengahan malam. Hal itu
dikarenakan tidak ada satu pun ulama yang memahami bahwa mengakhirkan
pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga setelah pertengahan malam – atau bahkan
mendekati fajar – lebih utama. Hal ini selaras dengan riwayat lain yang
berbunyi :
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم أن يؤخروا العشاء إلى ثلث الليل أو نصفه
“Jika saja tidak memberatkan umatku, sungguh akan aku perintahkan
mereka untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga
malam atau pertengahan malam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 167,
Ibnu Majah no. 691, dan Ahmad 2/245; shahih].
Catatan :
§ Disunnahkan untuk mengakhirkan perlaksanaan shalat ‘Isya’ sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
§ Dimakruhkan tidur sebelum shalat ‘Isya’, sebagaimana terdapat dalam hadits :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يؤخر العشاء إلى ثلث الليل ويكره النوم قبلها
“Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan
pelaksanaan shalat ‘Isya’ hingga sepertiga malam, dan membenci tidur
sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 568 dan Muslim no. 647].
Al-Haafidh berkata :
ومن نقلت عنه الرخصة قيدت عنه في أكثر الروايات بما إذا كان له من يوقظه
أو عرف من عادته أنه لا يستغرق وقت الاختيار بالنوم، وهذا جيد حيث قلنا إن
علة النهي خشية خروج الوقت
“Di antara para ulama melihat ada
keringanan mengecualikannya jika ada orang yang akan membangunkannya
untuk shalat, atau diketahui dari kebiasaannya bahwa tidurnya tidak akan
sampai melewatkan waktu shalat. Pendapat ini juga tepat, karena kita
katakan bahwa alasan pelarangan tersebut adalah kekhawatiran terlewatnya
waktu shalat” [Fathul-Baariy, 2/49].
§ Dimakruhkan ngobrol tanpa faedah setelah shalat ‘Isya’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا سمر إلا لأحد رجلين : لمصل ولمسافر
“Tidak boleh ngobrol (pada malam hari setelah shalat ‘Isya’) kecuali
dua orang : Orang yang akan shalat dan musafir” [Diriwayatkan oleh Ahmad
1/379, 412, 444, 463; ‘Abdurrazzaq no. 2130; Al-Baihaqiy 1/452; Abu
Ya’la no. 5368; dan yang lainnya – shahih lighairihi].
عن عبد الله بن مسعود؛ - قال: جدب لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم السمر بعد العشاء. يعني زجرنا.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan celaan kepada kami mengobrol setelah
‘Isya’ – yaitu melarang kami (untuk melakukannya)” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Majah no. 703, Ahmad 1/389, Ibnu Abi Syaibah 2/279, Ibnu Khuzaimah
no. 1240, Ibnu Hibban no. 2031, dan Al-Baihaqiy 1/452; hasan
lighairihi].
An-Nawawi berkata :
والمراد به الحديث
الذي يكون مباحاً في غير هذا الوقت, وفعله وتركه سواء, فأما الحديث المحرم
أو المكروه في غير هذا الوقت, فهو في هذا الوقت أشد تحريماً وكراهة. وأما
الحديث في الخير كمذاكرة العلم وحكايات الصالحين, ومكارم الأخلاق, والحديث
مع الضيف, ومع طالب حاجة, ونحو ذلك, فلا كراهة فيه, بل هو مستحب, وكذا
الحديث لعذر وعارض لا كراهة فيه, وقد تظاهرت الأحاديث الصحيحة على كل ما
ذكرته.
“Yang dimaksudkan adalah perbincangan yang hukum asalnya
mubah (boleh) jika dilakukan di selain waktu tadi (yaitu waktu ‘Isya’),
dimana antara melakukan dan meninggalkannya adalah sama. Adapun obrolan
yang haram atau makruh jika dilakukan di selain waktu tadi, maka
melakukannya pada waktu larangan ini lebih terlarang lagi. Adapun
obrolan dalam kebaikan seperti mengulang-ulang pelajaran, menceritakan
orang-orang shalih, atau tentang akhlak mulia, atau berbicara dengan
tamu, atau orang yang membutuhkan sesuatu, dan yang lainnya; maka tidak
apa-apa walaupun dilakukan dalam waktu yang dilarang tadi. Bahkan bisa
jadi dianjurkan/disunnahkan. Demikian juga obrolan karena adanya udzur
atau keperluan mendadak, maka tidak terlarang. Dan telah jelas
hadits-hadits shahih yang menerangka apa yang telah aku sebutkan”
[Riyaadlush-Shaalihiin, hal. 485].
Shalat Fajar/Shubuh
Fajar secara asal maknanya adalah : asy-syafaq (cahaya/mega yang
berwarna kemerahan). Asy-syafaq yang muncul di akhir malam seperti
asy-syafaq yang muncul di awal malam.
Fajar itu ada 2 (dua) :
§ Fajar Kadzib : adalah warna putih di arah timur, panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.
§ Fajar Shadiq : adalah warna merah yang naik dan muncul dari arah
timur (setelah berlalunya Fajar Kadzib), sehingga terlihat jelas
perbedaan antara malam dan siang.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الفجر فجران فأما الأول فإنه لا يحرم الطعام ولا يحل الصلاة واما الثاني فإنه يحرم الطعام ويحل الصلاة
“Fajar itu ada dua macam : Adapun fajar yang pertama, tidak diharamkan
makan dan tidak dibolehkan mengerjakan shalat (shubuh); sedangkan fajar
yang kedua, diharamkan makan dan dibolehkan mengerjakan shalat shubuh”
[HR. Ibnu Khuzaimah no. 1927; shahih].
Para ulama bersepakat bahwa awal waktu fajar adalah munculnya fajar shaadiq dan akhir waktunya adalah terbitnya matahari.
Jumhur ulama – seperti Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Ishaq, dan Abu
Tsaur[10] - berpendapat bahwa pelaksanaan shalat Shubuh yang paling
utama adalah pada saat kegelapan akhir malam yang bersamaan telah
munculnya cahaya terang waktu Shubuh. Adapun dalil yang menjadi dasar
pijakan adalah :
عن عائشة قالت كنا نساء المؤمنات، يشهدن مع رسول
الله صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر، متلفعات بمروطهن، ثم ينقلبن إلى
بيوتهن حين يقضين الصلاة، لا يعرفهن أحد من الغلس.
Dari ‘Aisyah
ia berkata : “Kami para wanita mukminin ikut menghadiri shalat Shubuh
bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berbalut
kain bulu. Kemudian mereka (para wanita) kembali ke rumah mereka seusai
melaksanakan shalat dalam keadaan mereka tidak mengenali seorang pun
karena keadaan masih gelap” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 578,
Muslim no. 230, Ath-Thahawiy 1/76, Abu Ya’la no. 4415, Ahmad 6/248, dan
yang lainnya].
عن أنس، عن زيد بن ثابت رضي الله عنه قال: تسحرنا
مع النبي صلى الله عليه وسلم، ثم قام إلى الصلاة، قلت: كم كان بين الأذان
والسحور؟. قال: قدر خمسين آية.
Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit
bahwa dia pernah berkata : ”Kami pernah makan sahur bersama Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian kami berangkat shalat (shubuh).
Maka aku (Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan
sahur? Ia (Zaid) menjawab : خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh ayat
dari Al-Qur’an)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1921 dan Muslim no.
1097].
Sebagian ulama lain – seperti Ats-Tsauri, Abu Hanifah,
dan yang sepakat dengan keduanya – berpendapat waktu yang paling utama
melaksanakan shalat Shubuh ketika cahaya telah terang. Mereka berdalil
dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أسفروا بالفجر، فإنه أعظم للأجر
“Laksanakan shalat Shubuh hingga waktu isfar, karena pada waktu itu
lebih besar pahalanya” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 424, At-Tirmidzi
no. 154, An-Nasa’iy no. 548, dan Ibnu Majah no. 672; shahih
lighairihi].
Namun pendalilan ini disanggah, sebagaimana dikatakan oleh Ibni Hibban :
أراد النبي صلى الله عليه وسلم بقوله أسفروا في الليالي المقمرة التي لا
يتبين فيها وضوح طلوع الفجر لئلا يؤدي المرء صلاة الصبح إلا بعد التيقن
بالإسفار بطلوع الفجر فإن الصلاة إذا أديت كما وصفنا كان أعظم للأجر من أن
تصلى على غير يقين من طلوع الفجر
“Bahwa yang dimaksud oleh Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya ‘asfiruu’ adalah pada
saat cahaya bulan bersinar terang, sebab tidak diragukan lagi bahwa saat
itu dalam cuaca terang karena sinarnya. Seseorang hendaknya tidak
melaksanakan shalat Shubuh hingga merasa yakin bahwa fajar benar-benar
telah bercahaya. Sebab, jika seseorang melaksanakan shalat sesuai dengan
apa yang kita jelaskan, maka ia akan mendapat pahala yang besar
daripada ia shalat dalam keadaan yang tidak yakin atas kemunculan Fajar
(yaitu apakah fajar telah nampak atau belum)” [Shahih Ibni Hibban – di
bawah no. 1491].
Dan itulah (pendapat jumhur) yang raajih, karena berkesesuaian dengan keumuman ayat :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa” [QS. Ali ‘Imraan : 133].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[Abu Al-Jauzaa’, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya, dosa kedua orang
tuanya, istrinya, dan saudara-saudaranya; Ciomas City, Sya’ban 1430 H –
ditulis bersumber dari Shahih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Malik Kamal,
Mawaaqitush-Shalaah oleh Ibnu ‘Utsaimin, Adlwaaul-Bayaan oleh
Asy-Syinqithiy, dan yang lainnya].
[1] Sebagaimana hadits Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu :
أن جبريل أتى النبي صلى الله عليه وسلم يعلمه مواقيت الصلاة فتقدم جبريل
ورسول الله صلى الله عليه وسلم خلفه والناس خلف رسول الله صلى الله عليه
وسلم فصلى الظهر حين زالت الشمس
“Bahwasannya Jibril pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan
kepada beliau tentang waktu-waktu shalat. Lalu Jibril maju ke depan
(mengimami) dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berada di
belakang beliau (untuk melaksanakan shalat berjama’ah), dan para
shahabat berdiri di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau shalat Dhuhur saat matahari telah tergelincir” [Diriwayatkan oleh
An-Nasa’iy no. 513; shahih].
[2] Allah ta’ala berfirman :
حَافِظُواْ عَلَى الصّلَوَاتِ والصّلاَةِ الْوُسْطَىَ وَقُومُواْ للّهِ قَانِتِينَ
“Peliharalah shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah
karean Allah (dalan shalatmu) dengan khusyu” [QS. Al-Baqarah : 238].
Dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda saat perang Khandaq :
ملأ الله عليهم بيوتهم وقبورهم نارا كما شغلونا عن صلاة الوسطى حتى غابت الشمس
”Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah mereka dengan api neraka,
sebagaimana mereka membuat kita ketinggalan mengerjakan shalat wusthaa
hingga matahari terbenam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4111].
Dalam lafadh Muslim disebutkan :
شغلونا عن الصلاة الوسطى صلاة العصر ملأ الله بيوتهم وقبورهم نارا ثم صلاها بين المغرب والعشاء
”Mereka membuat kita ketinggalan mengerjakan shalat wusthaa; (yaitu)
shalat ‘Ashar. Semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api
neraka. Kemudian beliau mengerjakannya antara Maghrib dan ‘Isya”.
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 627].
[3] Asy-Syinqithiy menukil :
وشذ أبو حنيفة رحمه الله من بين عامة العلماء فقال: يبقى وقت الظهر حتى
يصير الظل مثلين، فإذا زاد على ذلك يسيرا كان أول وقت العصر..... قال ابن
عبد البر: خالف أبو حنيفة في قوله هذا الآثار والناس، وخالفه أصحابه، فإذا
تحققت أن الحق كون أول وقت العصر عندما يكون ظل كل شيء مثله، من غير اعتبار
ظل الزوال.
“Abu Hanifah rahimahullah mempunyai pandangan
tersendiri yang berbeda dengan para ulama secara umum, dimana ia berkata
: ‘Waktu Dhuhur berlaku hingga panjang bayangan dua kali tinggi benda.
Apabila panjang bayangan itu bertambah sedikit saja, maka telah masuk
waktu ‘Ashar”……. Berkata Ibnu ‘Abdil-Barr : ‘Abu Hanifah telah
menyelisihi dalam perkataannya terhadap atsar-atsar dan ulama-ulama,
dimana para shahabatnya tidak sejalan dengannya. Telah jelas bahwa yang
benar mengenai awal waktu ‘Ashar adalah saat panjang bayangan sesuatu
seukuran tingginya, tanpa memperhatikan bayangan zawal” [Adlwaaul-Bayan,
1/283-284, dengan peringkasan].
[4] Bidaayatul-Mujtahid 1/126, Al-Mughniy 1/376, dan Al-Ausath 2/331 – melalui perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 1/240.
[5] Oleh karena itu, seorang muslim – pada asalnya – dilarang
menyengaja untuk mengakhirkan pelaksanaan shalat ‘Ashar hingga menjelang
matahari tenggelam. Hal ini didasarkan oleh hadits :
تلك صلاة المنافقين يجلس يرقب الشمس حتى إذا كانت بين قرني الشيطان قام فنقرها أربعا لا يذكر الله فيها إلا قليلا
“Itu adalah cara shalat orang-orang munafiq yang duduk dan
memperhatikan matahari sampai saat matahari berada di antara dua tanduk
syaithan. Maka ia berdiri dan mengerjakanya empat raka’at. Tidaklah ia
mengingat Allah kecuali hanya sedikit saja” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 622, At-Tirmidzi no. 160, An-Nasa’iy no. 511, Al-Baihaqiy 1/443-444,
Ibnu Khuzaimah no. 333, Ibnu Hibban no. 262].
Dalam hadits ini
terdapat dalil yang melarang mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga matahari
berwarna kekuning-kuningan/kemerah-merahan atau lebih dari itu.
[6] Mishbaahul-Muniir dan Kaysful-Qanaa’ 1/253.
[7] Al-Badaai’ 1/123, Al-Mughniy 1/381, dan Nailul-Authaar 2/5,8.
[8] Al-Ausath 2/343, Al-Umm 1/74, Bidaayatul-Mujtahid 1/128, dan
Al-Majmu’ 3/42 – melalui perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 1/245.
[9] Al-Ausath 2/346 dan Bidaayatul-Mujtahid 1/128 – melalui perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 1/245.
[10] Al-Mudawwanah 1/56, Al-Ausath 2/377, Mughnil-Muhtaj 1/125,
Al-Mughni 1/394, dan Syarhus-Sunnah oleh Al-Baghawiy 1/197 – melalui
perantaraan Shahih Fiqhis-Sunnah 1/249.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/08/waktu-waktu-shalat-wajib-dalam-sehari.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar